Tanggapan KPK mengenai Vonis MA Lebih Berat pada Kasus E-KTP

Dua terdakwa kasus e-KTP Irman dan Sigiharto mendapatkan hukuman lebih berat dari Mahakamah Agung. Keputusan tersebut tercatat pada perkara nomor 430K/Pidsus/2018 tanggal 18 April 2018. Kedua terdakwa mendapatkan vonis 15 tahun penjara dan denda masing-masing Rp500 juta subsider 8 bulan kurungan.

Kedua terdakwa tersebut merupakan mantan pejabwat Kementerian Dalam Negeri. Irman adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencacatan Sipil. Sedangkan Sugiharto adalah Direktor Pengelolaan Inforrmasi Administrasi Kependudukan (PIAK).

Atas putusan MA tersebut, KPK menghormatinya karena ini merupakan putusan tingkat tertinggi dan tidak dapat digugat lagi. Namun KPK menyayangkan status justice collaborator kedua terdakwa juga dicabut hakim Mahkamah Agung.

Sebelumnya Jaksa Penuntur UMUM (JPU) KPK telah mengabulkan pengajuan status justice collaborator bagi Irman dan Sugoharto pada 22 Juni 2017. Setelah kasus ini masuk ke Mahkamah Agung, majelis hakim justru mencabutnya.

Selain dianulir masa hukumannya, majelis hakim yang dipimpin Artidjo Alkotsar juga mewajibkan kedua terdakwa untuk membayar uang pengganti. Terdakwa Irwan harus membayar US$ 500 ribu dan RP 1 miliar. Sedangkan Sugiharto diwajibkan untuk membayar uang pengganti US$450 ribu dan Rp 460 juta. Jika tidak dapat mengembalikan maka harta benda akan dirampas, atau subsider 2 tahun kurungan penjara.

KPK menghormati putusan MA, namun KPK berharap ada pemahaman yang sama antar lembaga hukum mengenai konsep justice collaborator. Jika melihat proses persidangan selama ini, kedua terdakwa tersebut sudah berkontribusi banyak dalam mengungkap kasuks eKTP.

Meski tidak memenuhi harapan dari Jaksa Penuntut Umum, KPK tetap percaya dan tidak meragukan kredibilitas hakim yang menetapkan putusan MA tersebut. Setelah adanya putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap maka KPK harus mempelajari, menghormati, menerima, dan melaksanakannya.

Sebelumnya KPK beranggapan jika Irman dan Sigiharto bukanlah pelakuk utama sehingga ini menjadi pertimbangan Jaksa Penuntut Umum untuk mengabulkan justice collaborator. KPK berharap jika kedepannya ada penyamaan konsep mengenai justice collaborator agar para tersangka kasus korupsi lain dapat bersedia membongkar keterlibatan pihak lain tanpa pikir panjang.