Greenflation dan Masa Depan Transisi Energi Terbarukan: Kajian Kasus Indonesia, Malaysia, dan Vietnam

Inflasi hijau atau yang dikenal sebagai greenflation telah mengakibatkan sejumlah negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, dan Vietnam, mengalami kesulitan dalam meraih transisi energi baru terbarukan (EBT). Di Indonesia, misalnya, target untuk bauran EBT turun drastis, dari 23 persen pada tahun depan menjadi 17-19 persen pada 2025, dan 19-21 persen pada 2030.

Dewan Energi Nasional (DEN) mencatat bahwa target awal tersebut sulit dicapai karena saat ini kontribusi energi terbarukan hanya mencapai 13 persen dari total sumber energi di Indonesia. Pengumuman ini datang tak lama setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan menunda penerapan pajak karbon hingga tahun 2026, yang semula direncanakan pada 2022.

Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), pemangkasan target ini menunjukkan ketidakpastian komitmen pemerintah terhadap transisi energi dan meningkatnya minat terhadap bahan bakar fosil. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran akan biaya yang meningkat untuk memajukan upaya ramah lingkungan.

Gibran Rakabuming Raka, dalam debat calon wakil presiden (cawapres) pada bulan Januari, menyatakan kekhawatiran atas kenaikan harga yang mungkin terjadi ketika beralih dari bahan bakar fosil ke teknologi rendah karbon yang lebih mahal, fenomena yang dikenal sebagai greenflation.

Tidak hanya Indonesia, Malaysia juga menghadapi kendala serupa dalam upaya transisi energi. Negara ini bergantung pada impor suku cadang dan komponen yang menjadi lebih mahal akibat pelemahan nilai tukar ringgit. Malaysia telah meluncurkan proyek dekarbonisasi dengan investasi lebih dari 25 miliar ringgit atau US$5,5 miliar pada tahun 2030, namun, Wakil Perdana Menteri Malaysia, Fadillah Yusof, mengakui bahwa pendanaan untuk teknologi ramah lingkungan bisa menjadi lebih sulit karena risiko yang terkait dengan teknologi baru dan dampak inflasi hijau.

Di Vietnam, impor batu bara melonjak 217 persen pada bulan Januari secara year on year, sementara negara ini sebenarnya menjadi pemimpin di Asia Tenggara dalam kapasitas tenaga surya dan angin. Namun, sulitnya menambahkan proyek tenaga surya dan angin ke dalam jaringan listrik, terutama setelah Hanoi mengakhiri insentif untuk membayar biaya tinggi kepada pembangkit listrik, memperlambat transisi ramah lingkungan di negara ini.

Prakash Sharma, Wakil Presiden Wood Mackenzie, mengungkapkan bahwa meningkatnya biaya modal dan tekanan rantai pasokan telah berdampak signifikan pada biaya teknologi terbarukan. Hal ini membuat penundaan dalam penggunaan energi terbarukan tidak dapat dihindari.

Laporan dari Oxford Economics menambahkan bahwa negara-negara besar di Asia Tenggara akan mengalami kenaikan biaya energi pada fase awal dekarbonisasi akibat penerapan pajak karbon pada bahan bakar fosil, ditambah dengan harga logam dan mineral yang meningkat karena permintaan untuk produksi kendaraan listrik dan investasi hijau lainnya.

Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) juga terhambat. Skema pendanaan iklim ini, meskipun didukung oleh negara-negara maju dengan tujuan memobilisasi dana sebesar US$35,5 miliar untuk mendukung transisi energi di Indonesia dan Vietnam, belum terwujud sejak diumumkan pada tahun 2022.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyatakan keprihatinan atas kemunduran energi terbarukan yang akan semakin menjauhkan Jakarta dari tujuan JETP untuk meningkatkan porsi energi ramah lingkungan menjadi setidaknya 34 persen pada tahun 2030. Target yang lebih rendah ini menimbulkan keraguan terhadap kredibilitas kebijakan transisi energi Indonesia di mata investor dan komunitas internasional.

Demikian informasi seputar transisi energi di Indonesia yang terhambat karena greenflation. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Texas-Directory.Org.