PT Industri Nuklir Indonesia (INUKI) adalah perusahaan nuklir yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Namun, kondisi perusahaan ini sangat buruk, sebagaimana yang diungkapkan oleh Direktur Utama INUKI, Heri Heriswan saat berbicara di depan Komisi VI DPR RI. Ia menyatakan bahwa saat ini perusahaan tidak memiliki kantor.
Heri memulai ceritanya dengan sejarah perusahaan nuklir Indonesia berdiri pada 1996. PT INUKI terbentuk dari perusahaan kelolaan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) bernama PT Batan Teknologi. Namun, perusahaan berganti nama menjadi INUKI pada 2014.
Perusahaan ini mengembangkan usaha di bidang produksi radioisotop dan radiofarmaka untuk keperluan medis dan industri. Kemudian, INUKI masuk ke dalam holding BUMN farmasi pada pertengahan tahun yang lalu.
“INUKI ini memang kita kecil sekali, INUKI mulai ada tahun 2014. Sebelumnya kita bernama PT Batan Teknologi yang dikelola Batan sendiri, mulai 2014 kita berdiri sendiri. Kita bergabung per 1 Juli 2022 di holding farmasi,” ungkap Heri dalam rapat kerja Komisi VI, dikutip dari YouTube Komisi VI DPR RI Channel pada Rabu, 25 Januari.
Lahan Perusahaan Nuklir Indonesia Bermasalah
Masalah muncul ketika ada permasalahan pada lahan pabrik nuklir milik INUKI. Menurut Heri, sejak 2015 saat INUKI berdiri sendiri tanpa ada Batan di belakangnya, pabrik pengolahan nuklir INUKI menempati lahan Batan. INUKI cuma memiliki fasilitas pabriknya saja, namun lahan pabrik milik Batan.
Pada 2021, setelah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dibentuk dan Batan masuk ke dalamnya, kembali muncul masalah. Produksi pabrik nuklir Indonesia di lahan Batan dilarang karena lahannya bermasalah. Dalam hal ini, masalah yang dimaksud adalah INUKI tidak memiliki lahan pabrik nuklir sendiri.
“Karena memang kuartal I-2021 ini kita sudah tidak boleh akses ke nuklir, ke reaktor, otomatis fasilitas produksi kita itu berhenti,” papar Heri.
“Sedangkan untuk tahun 2022 karena fasilitas kita berhenti, otomatis BRIN juga tidak ada pesanan untuk pembuatan elemen bahan bakar nuklir. Padahal, elemen bahan bakar nuklir buat inti itu hampir 50% penjualannya,” tuturnya.
Heri juga menuturkan kalau penjualan yang dilakukan oleh nuklir Indonesia sangat bergantung dengan BRIN. “Jadi apabila ada permasalahan dengan BRIN ya habis kita,” katanya.
Masalah lahan dengan BRIN menurut Heri sebetulnya sudah sempat dicoba untuk diselesaikan. Pihaknya membayar sewa menyewa lahan BRIN dari 2015 hingga 2021. Namun, masalah lahan pada 2022 tetap belum selesai.
Heri Heriswan menceritakan bahwa Kementerian BUMN turun tangan dan meminta semua fasilitas dan kantor produksi milik nuklir Indonesia diserahkan kembali ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Hal tersebut dilakukan sekitar November 2022. Namun, Heri juga menyatakan bahwa dengan bergabungnya INUKI ke dalam holding farmasi BUMN, Bio Farma sebagai pimpinan holding sudah memiliki rencana untuk ‘penyelamatan’ INUKI.